Berkah
Doa Al Maghfurlah Kiai Cholil Nawawie
·
Nama: KH.
Jauhari Aris Al Fananni
·
Alamat: Langkap
Burneh Bangkalan
·
Lahir:
Bangkalan, 08-mei-1948
·
Ayah: H.
Syarqowi
·
Ibu: Munawwaroh
·
Pendidikan: SD
Burneh Bangkalan, MMU Ibtidaiyah Pondok Pesantren Sidogiri, PMP (Perguruan
Muallim Pertama) Darul ulum Paterongan Jombang, PMA (perguruan Muallim Atas)
·
Kegiatan:
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikmah Langkap Burneh bangkalan.
Rumah sederhana di utara masjid jamik Sidogiri itu
tampak dipenuhi tamu. Rumah itu adalah kediaman Al Maghfurlah KH. Cholil
Mawawie. Pengasuh ke-7 Pondok Pesantren Sidogiri. Dapat dipastikan hampir setiap hari kediaman kiai Cholil tidak
pernha sepi dari tamu. Mereka yang datang dari berbagai kalangan dan dengan
beragam keperluan. Saat itu. H. Syarqowi juga sedang sowan kepada kiai
Cholil H, Syarqowi meminta izin
memamitkan putranya yang telah lima tahun berada di sidogiri untuk berhenti
mondok. Alias boyong. Kiai Cholil
bertanya kepada anak itu kenapa ingin meninggalkan pesantren..?
Bocah
belia itupun menjawab dengan enteng, “ karena sudah tidak kerasan kia”
Kiai
Cholil pun berkata, “ La reah jujur reah. Engkok senengan dekiyeh. Edueaginah
conh=g. yeh..edueaginah1 “ (nah.ini jujur. Saya lebih senang seperti ini. Saya
doakan kamu nak. Saya doakan)
Bila
anda pernah ke singgah ke Masjid Agung
Burneh bangkalan sore hari, maka akan melihat beberapa pemuda pemudi yang
sedang pulan dari sekolah. Ya, mereka itu sebagian mahasiswa Sekolah Tinggi
Islam Tarbiyah darul Hikmah. Pondok Pesantren Darul Hikmah Desa Langkap. Burneh
Bangkalan. Pondok pesantren darul Hikmah yang saat ini memiliki 900
santriwan-santriwati dan berada di bawah asuhan KH. Jauhari Aris, sosok anak
kecil dalam cerita pembuka diatas yang mendapatkan doa langsung dari Al
Maghfurlah KH. Cholil Nawawie.
KH.
Jauhari Aris masih tampak energik. Meski beliau tak lagi muda. Ia lahir di
langkap, Burneh Bangkalan Madura. Jawa Timur pada 08-mei-1948. Ia adalah anak
pertama dari lima bersaudara. Ayahnya bernama H. Syarqowi, seorang tokoh masyarakat
dan guru mengaji. Sedangkan ibunya bernama Hj. Munawwarah.
Ia
menelesaikan pendidkan dasarnya di SDN Burneh Bangkalan tahun 1959. Kemudian
melanjutkan ke MMU Ibtidaiyah PPS dan selesai tahun 1956. Setelah itu ia
bersekolah di PMP ( Perguruan Muallim Pertama) dilanjutkan ke PMA(Perguruan
Muallim Atas) di Pesantren Darul Ulum Paterongan Jombang Jatim.
Meski
di sidogiri jauhari hanya sampai jenjang pendidikan ibtidaiyah. Ia terbilang
anak yang rajin. Ia juga mengikuti pengajian yang diajarkan langsung oleh Kiai
Cholil, seperti Kitab Fathul Qorib, Tafsir. Dan Ihyak Ulumudin.
Nyantri di
jombang, setiap minggu ngaji ke Jawa Tengah
Selepas dari sidogiri tahun 1965 Jauhari meneruskan
pengembaraan ilmunya ke pesantren Darul Ulum Paterongan Jombang.
Di
darul Ulum, Jauhari dikenal sebagai satu dari santri yang mahir membaca kitab
kuning. Ia juga sering menggantikan guru. Kalau diantara mereka ada yang
berhalangan mengajar. Karena kelebihan yangia miliki. Tahun 1970 Kiai Musta’in
Romli memberinya amanah untuk ikut serta menjadi staf pengajar di sana.
“jauhari.
Disini anak-anak selalu gagal mengajari Ushul Figh dan Qawaid. Belum ada yang
sukses, sekarang saya pasrahkan kepada kamu untuk mengajarkannya pada
anak-anak!” Pesan kia Musta’in memberi amanah.
Amanah
dari kiai musta’in romli benar-benar berusaha dijalankan dan dijaga jauhari
dengan sekuat tenaga. Untuk persiapan mengajar. Jauhari bias
menghabiskanberjam-jam waktunya dimasjid pesantren.
“kalau
ketepatan tidak ada jadwal mengajar. Maka saya gunakan untuk muthala’ah. Bisa
dari jam tujuh pagi sampai setelah ashar. Namun kalau ada jadwal mengajar
biasanya dimulai setelah dzuhur sampai setelah Ashar” kenangnya.
Disamping
itu setiap kamis sore. Jauhari pergi mengaji ke Alm. KH. Imam Al Ghazali jawa
tengah dari jombang bernagkat kamis sore dan akan sampai di sarang sekitar jam
11 malam.
Juma’at pagi sampai sore mengaji kitab al
bukhari dan al hikam. Dan selesai pengajian langsung pulang ke jombang lagi.
Istikamah belajar ini, dijalani selama lima tahun.
Membingkai
Pendidikan Agama dengan Formalitas
Setelah kurang lebih Sembilan tahun
menimba ilmu di pesantren Darul Ulum Paterongan, tahun 1974 Jauhari kembali ke
kampung halamannya.
Pulang dari perantauan menimba ilmu,
jauhari tidaklah sulit ntuk mengamalkan ilmu yang telah ia perolah dari
pesantren. Ia langsung diminta sang ayah untuk membantu mengajari_+ 50 anak
yang setiap malam pergi belajar mengaji ke rumahnya.
Dengan berbekal pengalaman menjadi guru di
Darul Ulum Jombang. Jauharipun mulai memberikan tambahan pelajaran lain kepada
santrinya selain mengaji Al-Quran.Tahun, 1976 Jauhari mulai mendirikan dua
madrasah sekaligus, Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Para thalib al-ilmi pun
berdatangan dari berbagai daerah di Bangkalan Surabaya sampai Kalimantan.
Sukses mendirikan madrasah diniyah. Kiyai
jauhari berniat untuk mendirikan pendidikan formal.keinginan bekiau, sebenarnya
berawal dari keperihatinannya melihat masyarakat sekitar yang mulai banyak
beralih ke pendidikan formal.
Anak-anak burneh yang sekolah formal,
harus menempuh perjalanan yang lumayan jauh ke Bangkalan kota. Yang tentu harus
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Pulang sekolah merekatidak lantas pulang
ke rumah. Tapi masih nongkrong di pingiran Bangkalan kota. Akibatnya ikhtilath
baina rajul wal mar’ah pun tak bias dihindari.
“saya melihat ketika sore, siswa-siswi
masih menunggu berkumpul di pinggir jalanan Bangkalan kota. Mereka sekolah
berangkat jam 6 sore.” Cerita KH. Jauhari ironis.
Gayungpun bersambut. Pada awal tahun 1980,
di pesantren Darul Hikmah mulai didirikan SMP. Disusul SMA dan Sekolah Tinggi
Tarbiyah tahun 2004, dan SMK tahun 2009. “ tapi semua sekolah iyu hanya namanya
saja formal, ssementara yang di ajarkan selain materi ilmu umum, tetap Alfiyah
(ilmu nahwu) fiqhi, hadist dan tafsir.
Produktif
Mengarang Menterjemah Kitab Kuning
Buah amanah yang diberikan KH. Musta’in
Romli kepada KH. Jauhari rupanaya bias dinikmati saat ini. Konon ketika Jauhari
dipasrahi beliau untuk mengajarkan mata pelajaran Ushul Fiqhi dan Qaidah Fiqih,
disela-sela belajarnya.
Mustain
sempat memilik catatan keterangan tambahan yang ia kutipdari kitab beberapa
kitab Ushul dan Qaidah. Catatan itu lalu beliau kumpulkan dan dibukukan menjadi
sebuah kitab bernama Syudzuratus as-Sara’ir Fi Asybah wa an-Nadzair, Miftahul
Wusul Fil Ushul (Terjemahan kitab Ushul). Selain itu beliau juga memiliki karya
yang lain berupa Minhaj as –Salik Fi
tarjamati al-fiyah ibnu malik (terjemahan kitab al-fiyah ibn malik 3 Juz),
Mathlab al- faridh fi Tarjamati’Iddah al-Faridh dan Fiqh Islam terjemah
Qurratul’Ain.
Menurut pengakuan KH. Jauhari, sebenarnya
yang paling patutu menerima syukurnya, adalah salah seorang ustadznya dulu
ketika masih bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah di Sidogiri.
“Dulu, saya sempat kesal pada pak guru saya,
karena sangat keras dan disiplin dalam mendidik muridnya. Tapi sekarang,
beliaulah orang yang paling saya sayangi. Karena seandainya dulu saya tidak
dididik disiplin, maka mungkin saat ini, saya tidak menjadi seperti ini’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar